Pagi baru saja menyapa Singkawang. Kabut tipis menggantung di antara atap rumah tua bergaya kolonial. Di sudut jalan kecil mengarah ke pasar, aroma kopi hitam tubruk menyeruak dari salah satu warung tua yang tak pernah benar-benar sepi. Sebuah warung kopi legendaris yang berdiri sejak zaman Belanda. Di sana, waktu seakan berjalan lambat. Tak ada musik keras, tak ada barista dengan apron rapi. Hanya suara sendok beradu dengan gelas.
Di Singkawang, ngopi bukan sekadar minum, tetapi cara hidup. Ngopi sudah menjadi jembatan budaya etnis berbeda antar Tionghoa, Melayu, dan Dayak. Semuanya berpadu dalam satu cangkir kopi. Di setiap kopitiam, kita bisa merasakan denyut kota bergerilya, sesaat celoteh politik ringan, tren cerita lokal hingga rencana hajatan pesta kampung. Disini, tak ada kasta pembeda. Karena hanya kopi dan manusia yang ingin saling mendengar.
Dibalik
budaya ngopi Singkawang, ada ampas kopi yang tak terjamah. Belum lagi bekas
bungkusan karton kudapan lokal yang terbuang percuma. Semakin sering ngopi dan
membungkus kudapan, semakin banyak pula ampas kopi dan bungkusan karton yang
berakhir tragis. Hanya menjadi onggokan sampah tak bernilai.
Bayangin saja, jika sehari, satu kopitiam menjual 100 cangkir kopi maka akan menghasilkan 1kg ampas kopi per hari. Dalam satu tahun, hanya dari 50 kopitiam saja sudah bisa membuang 18,25 ton ampas kopi. Sebuah angka fantastis sekaligus meresahkan. Deretan angka ini, semakin memberatkan bumi karena tidak terkelola, terbuang percuma dan menjadi masalah lingkungan. Hingga, keresahan itu terjawab oleh Priska Yeniriatno yang akrab disapa Priska. Memanfaatkan ampas kopi sebagai pewarna batik ramah lingkungan. Iya. Kalian tidak salah baca. Pewarna batik ramah lingkungan dan Priska mengesekusinya dengan excellent. Semua berawal dari kecintaan Priska akan seni membatik.
Awal Asa yang Tak Terduga
Di sebuah
sore yang lengang di sudut rumah, Priska duduk bersila nan takjub di samping
Eyang Angkatnya, seorang seniman batik lukis yang tangannya tak pernah berhenti
menari di atas kain. Ada sesuatu yang magis dalam cara Eyang Angkat Priska menggoreskan
warna dan itulah pembuka sekaligus mengukuhkan rasa cinta Priska akan dunia
batik.
Bagi
Priska, “membatik itu memang proses teknis” tetapi bukan berarti kaku. Sejak
hari itu, Priska tahu bahwa batik bukan hanya sekadar warisan, tapi ruang bebas
untuk berekspresi. Priska percaya, siapa pun bisa membatik, asal mau mendengar
bisikan kain dan berani menciptakan jejaknya sendiri.
Proses membatik (sumber: dokumen pribadi
Priska)
Di ruang kecil salah satu sudut rumah, ditemani aroma lilin (malam) cair dan sisa kopi dingin, tangan Priska sibuk menari di atas kain mori. Tak ada guru, tak ada buku panduan, hanya ingatan samar akan goresan-goresan sang Ayah di kanvas masa kecilnya. Priska belajar membatik dengan cara yang paling jujur: mencoba, gagal, lalu mencoba lagi.
Setiap
motif yang Priska gambar terasa seperti bisikan batin. Layaknya warisan darah
seniman yang mengalir dari Ayahnya. Proses pelilinan bukanlah beban, pencelupan
berulang bukanlah rintangan. Bahkan, semua proses itu malah membuat Priska
jatuh cinta lebih dalam pada batik, pada ritme sunyi yang mengiringi setiap
tetes cairan (malam) di atas kain mori.
Suatu
hari, pada satu malam panjang dan penuh semangat, Priska tak beranjak sedikit
pun dari tempatnya. Priska menyelesaikan satu karya batik dalam sehari semalam.
Saking semangatnya mata Priska nyaris tak berkedip, seolah kain itu adalah
jiwanya sendiri yang sedang dilukis.
Bagi Priska, batik adalah ruang meditasi berbagi cerita kebahagian, mencurahkan kesedihan dan sebagai bentuk media komunikasi kepada Sang Pencipta. Bukan hanya sebagai hobi yang menghasilkan pekerjaan tetapi juga sebagai bentuk kepedulian terhadap masyarakat dan lingkungan. Dari sinilah, cikal bakal motif batik “Kote Singkawang” itu muncul.
Membangun SDM Singkawang dengan Batik
Di balik
goresan canting dan aroma malam yang menguar dari kain, Priska menyulam lebih
dari sekadar motif. Priska menyulam harapan.
Mungkin bagi
sebagian orang, membatik hanyalah hobi. Tapi bagi Priska, ini adalah bahasa.
Bahasa untuk menyapa kotanya, Singkawang. Bahasa untuk menyatukan komunitas
yang selama ini berjalan dan bergerak sendiri.
Priska menamai
mimpinya: Batik Kote Singkawang. Bukan sekadar produk, tapi gerakan.
Sebuah ruang tempat ide-ide bertemu, tempat kreativitas tumbuh dari akar budaya
dan tempat masyarakat bisa merasa memiliki warisan mereka sendiri.
![]() |
| Peserta workshop anak-anak (sumber: dokumen pribadi Priska) |
Workshop
pun dimulai. Ibu-ibu rumah tangga dan anak-anak datang dengan rasa ingin tahu.
Mereka belajar memegang canting, membuat pola, mencelup warna, dan menuangkan
imajinasi. Dari tangan-tangan itu, lahirlah motif-motif rumah ibadah sebagai simbol
nyata dari Singkawang sebagai kota yang memeluk banyak keyakinan dalam satu
pelukan damai.
Namun,
tak semua berjalan mulus. Masyarakat yang telah lama akrab dengan tenun ikat
dan songket memandang batik sebagai sesuatu yang asing layaknya agama baru. Di
setiap workshop, selalu ada keraguan: Apakah ini bisa menjadi sumber
penghidupan? Apakah ini hanya tren sesaat?
Bahkan pada workshop pertama tahun 2014 dari 28 peserta, hanya dua yang bertahan. Tapi Priska tak gentar. Priska sadar, membangun keterampilan saja tak cukup tetapi harus membangun keyakinan. Priska perlahan menyalakan api semangat dalam diri mereka bahwa membatik bukan hanya tentang kain, tapi tentang harga diri, tentang warisan, tentang masa depan dan tentang penghidupan layak.
Workshop membatik di Batik Kote Singkawang
(sumber: dokumen pribadi Priska)
Ketika
semangat mulai tumbuh, badai baru datang. Tuduhan politik menyelimuti
langkahnya. Priska disangka hanya mencari panggung sebagai caleg, hanya ingin
suara. Tapi Priska tak menjawab dengan debat. Ia menjawab dengan karya.
Lama-kelamaan,
suara sumbang itu tenggelam oleh suara batik yang berbicara. Batik Kote
Singkawang mulai dikenal. Priska menciptakan pasarnya sendiri, tanpa saingan,
tanpa intrik. Para peserta workshop dirangkul, diberi ruang untuk berekspresi dan
karya mereka pun mulai dicintai.
Kini,
batik hasil tangan-tangan lokal itu dijual mulai dari Rp300.000 hingga
Rp3.000.000 per meter. Bukan karena harganya, tapi karena kejujuran yang
tertanam di setiap motif. Karena setiap garis, setiap warna adalah cerita
tentang keberanian, tentang ketekunan dan tentang cinta pada tanah kelahiran.
Perpaduan Tiga Etnis
Dari
sebuah ruang kreatif kecil bernama Batik Kote Singkawang, Priska memulai perpanjang
langkahnya. Kali ini, bukan langkah biasa, tapi langkah membawa harapan. Priska
berjalan dari satu lokasi ke lokasi lain, dari satu desa ke desa lainnya.
Tujuannya sederhana namun besar membangun sumber daya manusia melalui batik.
Priska tak
hanya melihat kain, motif, atau canting. Priska melihat potensi dan melihat
wajah-wajah yang belum percaya bahwa tangan mereka bisa menciptakan warisan. Selama
proses membangun sumber daya manusia yang awalnya hanya di lingkungan sekitar,
kali ini Priska memilih tiga titik gerbang kota Singkawang sebagai pusat
pembinaan: Singkawang Selatan, Timur, dan Barat yang dikenal sebagai tiga
penjuru dengan tiga karakter unik.
Di
Singkawang Selatan, Priska menyapa masyarakat Melayu pesisir yang hidup dari
laut. Di sana, motif kehidupan nelayan lahir dari cerita sehari-hari. Di
Singkawang Timur, Priska bertemu masyarakat Dayak yang masih berburu di akhir
pekan meski tinggal di kota. Dari sana, lahirlah motif panen rebung dan burung
enggang (hornbill) sebagai simbol alam dan kebebasan. Di Singkawang
Barat, masyarakat urban dan Tionghoa menyambutnya dengan semangat Cap Gomeh yang
kemudian menjadi motif batik penuh warna dan makna.
Tiga
etnis. Tiga budaya. Tiga motif. Semua menyatu dalam satu identitas, satu
gerakan, satu nama yaitu Ragam Corak Singkawang Tiga Penjuru.
Motif Keharmonisan Tiga Penjuru di
Singkawang (sumber: koleksi pribadi Priska)
Motif
anggrek yang dulu menjadi pionir Batik Kote kini berbaur dengan motif-motif
baru. Bukan sekadar corak, tapi cerita. Cerita tentang kolaborasi, tentang
keberagaman dan tentang bagaimana batik bisa menjadi jembatan antara masa lalu
dan masa depan.
Pada
tanggal 1 Agustus 2019, lahirlah Kampung Wisata Edukasi Batik Ragam Corak
Tiga Penjuru yang didukung oleh ASTRA dan selanjutnya menjadi Desa
Sejahtera Astra Singkawang. Sebuah ruang belajar, ruang berkarya dan ruang
bertumbuh bagi masyarakat Singkawang dari tiga penjuru.
Dan Priska? Ia tak hanya menciptakan batik. Ia menciptakan gerakan. Ia mengukuhkan Batik Singkawang sebagai simbol kekuatan lokal sekaligus sebagai bukti bahwa ketika budaya dipeluk dan diberdayakan ternyata bisa menjadi cahaya yang menerangi seluruh penjuru kota.
Batik Ramah Lingkungan
Di tengah
riuhnya Singkawang yang berwarna, Priska berdiri di antara gulungan kain mori
dan tumpukan limbah yang dulu dianggap tak berguna. Priska percaya satu hal: tidak
ada masalah yang tidak ada jalan keluarnya.
Keberhasilan
dalam menggerakkan masyarakat dari tiga penjuru ternyata memunculkan masalah
baru. Seperti masalah terkait pewarna batik sintetis. Di Pulau Jawa, harganya
murah. Tapi di Singkawang, ongkos kirim, penanganan dan risiko kadaluarsa
membuatnya mahal dan menyulitkan. Belum lagi limbahnya yang memiliki dampak beracun,
sulit diolah dan mengancam lingkungan. Apalagi ditingkatan UMKM, sistem
sanitasi ideal pengolahan pewarna sintetis hanyalah mimpi sehingga sulit untuk
diolah limbahnya.
Tapi
Priska tak menyerah. Priska menolak tunduk pada keterbatasan. Di Desa Sejahtera
Astra Singkawang, Priska memulai revolusi kecil yaitu membatik dengan limbah.
Priska melihat
potensi ampas kopi yang terbuang dari kopitiam yang banyak di Singkawang. Dari
limbah ampas kopi lahirlah warna coklat muda hingga tua yang menempel indah di
kain. Tidak berhenti disitu saja, sampah daun Ketapang yang banyak berguguran
di jalanan kota Singkawang tak luput untuk dimanfaatkan. Dari ekstraknya,
muncul warna hijau army, olive dan abu-abu. Warna ini tidak hanya
cantik tetapi juga jujur.
Penemuan
berlanjut. Di Pulau Kabung yang berjarak sekitar 70 km dari kota SIngkawang,
Priska melihat nelayan membuang tinta cumi. Di mata orang lain, itu limbah. Di
mata Priska, itu peluang. Ia uji, ia coba dan hasilnya luar biasa. Warna hitam
pekat, menempel sempurna hingga 95% di atas kain mori.
Tak
berhenti di sana. Priska dan tim terus berinovasi dalam mengolah kardus bekas
makanan dan rokok menjadi canting cap ramah lingkungan. Jika rusak, canting cup
akan terurai. Jika dipakai, canting cup akan bercerita.
Dan
cerita itu didengar. Desa Sejahtera Astra Singkawang meraih Juara 2 Festival
Astra 2025 untuk Inovasi Kewirausahaan Berbasis Masyarakat. Tapi bagi
Priska, penghargaan bukanlah tujuan. Tujuannya adalah dampak.
Karena
batik ramah lingkungan bukan sekadar produk. Tetapi bukti bahwa keyakinan,
keteguhan, dan keberanian untuk bergerak bisa mengubah cara kita melihat
limbah. Bisa mengubah cara kita menjaga bumi. Dan bisa mengubah cara masyarakat
Singkawang memaknai warisan mereka.
Referensi:
1. Hasil Wawancara
dengan Priska Yeniriatno
2. eProceedings
of Art & Design Vol. 11 No 6 (2024). Gina Naura Aliyyah, Gina Shobiro Takao
& Sari Yuningsih. Pemanfaatan Ampas Kopi Sebagai Pewarna Alami Dengan
Teknik Ikat Celup Dan Sulam Benang. Telkom University
3. Jurnal
Seni Kriya, Vol 13, No.2 (2024). Achmad Luqmanul Khakim & Jati Widagdo. Zat
Pewarna Alam Sebagai Alternatif Pewarna Batik. Universitas Islam Nahdlatul
Ulama Jepara.


comment 0 komentar
more_vert