Tak ada yang dapat menandingi, bagaimana segarnya berada di tengah hutan yang rimbun dengan jalanan setapak dan suara jangkrik bersahutan. Sesekali, aroma tanah tercium diiringi gemercik air dari sungai kecil yang mengalir jernih.
Sebagai pecinta wisata alam, hutan menjadi salah satu pilihan terbaik saya untuk healing. Keanekaragaman flora dan fauna hingga nuansa dingin menjadi salah satu alasannya. Aroma khas hutan dengan segala kekayaan di dalamnya juga menjadi daya tarik tersendiri.
Beberapa hutan di Indonesia pun sudah pernah dijelajahi
mulai dari hutan mangrove di Papua, hutan Adat Bea Muring di Nusa Tenggara
Timur, Hutan Adat Lembah Bada Sulawesi Tengah, Taman Nasional Sangkima di
Kalimantan Timur, Taman Nasional Bromo Tengger Semeru di Jawa Timur hingga
Taman Nasional Bukit Barisan di Sumatera.
Di hutan,
banyak pengalaman yang tidak bisa didapatkan di area lain apalagi hutan menjadi
salah satu sumber oksigen terbaik dunia. Makanya dengan berkunjung ke hutan
akan membuka cakrawala sekaligus rasa cinta akan paru-paru dunia ini.
Mengenal Hutan Lebih Dekat
Dulunya,
saat berkunjung ke hutan selalu fokus melihat pohon yang menjuntai dan senang
rasanya menikmati flora disana. Bahkan beberapa masyarakat lokal yang menemani
memberikan banyak informasi tentang tanaman hutan dan manfaatnya. Mulai dari
rotan yang sering digunakan untuk pembuatan kursi dan alat-alat rumah tangga
lainnya hingga buah yang langsung dimakan seperti cempedak.
Berada di
ibukota bukan berarti pengetahuan akan hutan sirna ditelan masa, malah ternyata
bisa bertambah. Itu semua karena diberi kesempatan untuk bisa hadir dalam
Offline Gathering “Nature’s Artisans: Exploring Eco-Friendly Crafts” bersama #EcoBloggerSquad yang
diselenggarakan di Taman Ismail Marzuki, 14 Juni 2025 yang lalu.
Dari
acara ini, ternyata banyak banget hal-hal baik tentang hutan yang bisa
didapatkan. Salah satunya adalah hutan adat Tembawang yang ada di Kalimantan
Barat.
Kebayang
nggak sih, mendengar hutan Kalimantan di ibukota. Meskipun bahasanya terdengar
asing, Tembawang, tetapi dari sini saya menyadari betapa kayanya hutan
Tembawang ini termasuk bahan pangan dari hutan. Apa saja itu:
A. Sengkubak
Awal saya
dengar kata Sengkubak, sebenarnya tidak memiliki ekspektasi berlebih. Apalagi
bentuknya seperti daun jambu pada umumnya. Tetapi setelah tahu manfaatnya,
akhirnya saya pun mengamini bahwa hutan memang sangat kaya.
Manfaat
dari Sengkubak ternyata sebagai penyedap rasa alami dari alam. Rasanya pun bisa
menggantikan rasa micin yang selama ini digunakan. Makanya tidak heran, jika
masyarakat adat sekitar Tembawang memanfaatkan Sengkubak untuk memasak dan
pemberi cita rasa gurih.
B. Liak (jahe) Padi
Familiar
dengan manfaat jahe yang sering dibudidayakan sebagai tanaman obat keluarga
ternyata hutan juga punya loh, namanya Liak (jahe) padi. Termasuk jenis
rimpang-rimpangan dan menjadi salah satu bumbu masakan masyarakat Dayak loh.
Bentuknya, hampir sama dengan jahe pada umumnya. Cuma asal nya saja yang
berbeda yaitu berasal dari hutan.
C. Bawang Dayak
Bawang
bukan sembarang bawang, tetapi ini adalah bawang Dayak yang berasal dari hutan.
Biasanya tumbuh di ketinggian 600-1500 mdpl. Nah, bawang Dayak ini juga menjadi
salah satu rempah dan citarasa dari hutan loh.
Meskipun
sama-sama berwarna merah seperti bawang pada umumnya tetapi bawang Dayak
memiliki bentuk agak lonjong dan besar. Beberapa khasiat lain dari bawang ini
untuk pencegahan diabetes dan menangkal radikal bebas.
D. Tengkawang
Bagi
pecinta masak-memasak menggunakan butter, mungkin tidak familiar dengan salah
satu produk hutan ini. Tetapi tahu nggak sih, ternyata buah dari pohon
Tengkawang bisa diolah menjadi butter. Lemak yang terkandung di dalamnya
memiliki khasiat dan manfaat terbaik untuk makanan.
![]() |
Esty Yuniar selaku Semesta Sintang Lestari dengan produk Bischo |
Keberlanjutan Ekonomi Berbasis Ekonomi Alam
Potensi
hutan yang ada memang sangat menggiurkan. Jika sebelumnya saya hanya mengetahui
beberapa manfaat hutan, maka hadir di gathering kali ini benar-benar menambah
wawasan. Bukan hanya terkait produk dari hutan tetapi juga tentang
keberlanjutan ekonomi berbasis alam.
Dari kak Ristika
Putri Istanti selaku Sekretariat LTKL sangat jelas menyampaikan terkait
kabupaten Lestari. Iya, kabupaten Lestari. Kalian tidak salah baca. Layaknya
sebuah kabupaten tetapi secara defacto tidak memiliki pemerintahan seperti
kabupaten-kabupaten lainnya.
Kabupaten Lestari ini bertindak sebagai akselerator dalam menciptakan model ekonomi dan pembangunan berkelanjutan berbasis alam dan tersebar di seluruh Indonesia. Mulai dari Aceh Tamiang, Siak, Musi Banyuasin, Sanggau, Sintang, Kapuas Hulu, Sigi, Gorontalo dan Bone Bolango.
Tahu
nggak sih, jika saat ini sering terjadi bencana, deforestasi hutan, ekonomi
berbasis monokultur dan ujung-ujungnya adalah krisis identitas. Nah, kehadiran
kabupaten Lestari ini ingin menyelamatkan itu semua.
Langkah
sederhananya dengan menggandeng masyarakat adat yang peduli akan hutan dan alam
kemudian menjadi gerakan restorasi lingkungan. Dari gerakan ini lah, akan
bermunculan inovasi-inovasi teknologi dan produk berbasis masyarakat adat
dengan keberlanjutan menjadi kunci.
![]() |
Ristika Putri Istanti selaku Sekretariat LTKL |
Dari
produk ini, saya pun terperangah bahwa ternyata kemasan, rasa dan kandungannya
tidak berbeda jauh dengan produk yang ada di pasaran. Inovasi dan semangat
dibalik produk ini menjadi salah satu alasan, mengapa kita harus mencintai
hutan dan alam sekitar.
Belajar Memanfaatkan Material Dari Alam dan Barang Bekas
Kali ini
benar-benar surprise. Awalnya sudah nebak terkait ranting, daun, majalah,
krayon dan peralatan lainnya yang ada di atas meja saat gathering pasti akan
dibuat sesuatu. Dan benar saja, kali ini membuat kolase bertemakan hutan
Lestari dan dipandu oleh Dian Tamara dari Pancaran Sinema.
![]() |
Fransiska Soraya-HIIP Indonesia (kiri) dan Dian Tamara-Pancaran Sinema (kanan) |
Bukan
hanya mendapatkan banyak pengetahuan akan kekayaan hutan dan kabupaten Lestari
tetapi sekalian workshop Eco-Friendly Crafts. Berbekal segala yang ada diatas
meja, satu per satu digunting, ditata dan disesuaikan dengan nilai seni
masing-masing. Hasil akhirnya, sudah bisa ditebak. Berbagai kolase menarik
dengan karakter dan ide masing-masing peserta.
Saya
sendiri mencoba ‘mengimajinasikan’ sebuah bait lirik lagu yaitu “Agar tak
hilang ditelan masa”. Potongan gambar perbukitan hijau dan kata “Lestari”
menjadi item utamanya. Selanjutnya tinggal memanfaatkan bahan alam yang ada
sebagai pelengkap nilai artistic dari kolase ini.
![]() |
Eco-Friendly Crafts |
Di balik hutan yang sunyi
Ada pangan yang tersembunyi
Masyarakat adat menjaga
Benih-benih yang kaya makna
Kita Kembali ke rasa
Jejak hampir terlupa
Agar tak hilang ditelan masa
Kenali lagi bumi sendiri
Warisan lintas zaman
Percaya deh. Kita semua adalah bagian dari kelestarian hutan. Baik langsung maupun tidak langsung. Tinggal bagaimana aksi kita dalam melindungi hutan. Mulai dari langkah kecil menjadikan hutan sebagai tempat healing tanpa merusaknya. Yuk dimulai.
comment 0 komentar
more_vert