MASIGNASUKAv102
1508570391356967755

Ina Sang Pencari Kerang

Ina Sang Pencari Kerang
Add Comments
11 April 2018

Kepulan asap perlahan-lahan keluar dari belanga aluminium yang separuh permukaan luarnya gosong. Di bawahnya tungku tanah liat berbahan bakar kayu, sempurna membuat api merah dengan gurat kuning menyelimutinya. Beberapa kali, penutup belanga naik turun, sambil melepaskan uap panas beraroma gurih. Dalam ruang kecil tak lebih dari 3 kali 3 meter berdinding anyaman bambu, wanita gempal berparas datar sedari tadi berlalu-lalang. Kulitnya tak lagi putih, dampak terpaan sinar matahari sepanjang tahun. Senada dengan kain batik bercorak Maleo sempurna menyelimuti bagian bawah tubuhnya, hitam lusuh akibat umur penggunaan kain yang entah kapan dibelinya dan belum terganti sampai hari ini. Dirapikan tudung kepala sembari mengikat dengan erat sarung batiknya, kini dia sudah berdiri di depan pintu rumah dengan separuh bagian atasnya terbuka. Sesekali tatapannya mengikuti arah kendaraan bermotor, tepat di depan pagar rumahnya.

Pencari kerang
Suasana perumahan di pantai


Rejeki dari Kerang

Ina, begitulah warga kampung memanggilnya. Ibu dari tiga orang anak bersuamikan buruh “pajak” sawah. Ina sudah terlanjur menjalani hidunya sebagai wanita pencari kerang. Hampir setiap hari, ketika air surut, Ina bersama warga lainnya seprofesi, mulai menyusuri hutan mangrove dan daratan berpasir sepanjang lekukan garis pantai Tambu-Piore. Di tangan kanannya, ember plastik hitam berisikan sebilah parang, palu, karung kosong bekas pupuk KCl dan sebotol air minum selalu menemani disetiap langkahnya. Dia selalu bergegas, menemukan tempat pencarian kerang dicelah-celah hutan mangrove.

Parang menjadi senjata utama dan berfungsi sebagai media pendeteksi sekaligus pengangkat kerang ke permukaan. Cukup dengan menemukan garis sepanjang 2 senti di permukaan pasir, maka parang akan diarahkan ke samping garis dan tidak butuh waktu, sebongkah cangkang kerang  pun sudah berada di permukaan. Jika garis ini tidak tampak, pekerjaan pun semakin lama. Sepanjang area pencarian, parang digunakan untuk membuat garis tidak menentu, sampai kerang mengenai ujung parang sebelum akhirnya dipaksa keluar dari dalam permukaan dengan satu cungkilan. Begitulah pekerjaan setiap hari Ina lakukan hingga menjelang air pasang datang. Kerang-kerang hasil pencariannya dijual di Pantai kepada pembeli langganannya sejak 7 tahun terakhir. Hanya beliaulah, satu-satunya pembeli kerang di pantai. Bagi Ina, kehadiran pembeli kerang sudah sangat membantu perekonomian keluarganya. Minimal untuk biaya hidup mereka berempat dan juga biaya pendidikan anaknya, disamping penghasilan suaminya ketika panen berlangsung setiap 3 bulan sekali.

Sebuah firasat

Hari ini, Ina sengaja tidak mencari kerang. Penghasilan kemarin sudah cukup untuk bertahan hidup 3 hari kedepan. Sejak pagi, Ina mempersiapkan makan siang berupa kerang bercampur daun kelor berkuah santan buat keluarganya. Tetapi perasaannya terusik, dengan banyaknya kendaraan berlalu-lalang di depan rumahnya. Baru kali ini, sepanjang pukul 6 pagi tadi, hampir tak hentinya kendaraan tersebut melaju diatas jalan berkerikil batu menuju pantai.

Seingat Ina, tidak ada pesta hajatan di pesisir seperti biasanya jika banyak kendaraan yang berlalu-lalang di depan rumahnya. Rasa penasaran Ina semakin meningkat. Ina kembali memasuki rumah menuju dapur, memisahkan agak jauh jarak batang-batang kayu yang separuhnya sudah terbakar dan memastikan nyala apinya sudah padam. Kembali Ina bergegas, duduk di bale-bale depan rumahnya tepat di bawah pohon mangga. Tatapannya sekarang sudah mulai fokus kembali ke jalan aspal berbatu kerikil, diperhatikan dengan lamat, ternyata orang-orang berkendaraan tersebut, dari kampung sebelah. Dia tetap menunggu, sambil berharap, ada pengendara yang dikenalnya. Tiga puluh menit berlalu masih belum ada. Satu jam berlalu, juga masih belum ada wajah familiar untuk hanya sekadar bertanya, mengapa mereka semua tergesa-gesa menuju Pantai.

 Kali ini, rasa penasarannya benar-benar membucah saat suara nyaring, “ngiuuung-ngiuuung-ngiuuung” terdengar dari kejauhan, suara itu pun semakin dekat semakin jelas.



“Suara apakah ini, aneh sekali” ungkap Ina dalam hati.



Tidak perlu menunggu lama, mobil putih sumber suara itu lewat melintas, debu jalanan pun terangkat, beberapa kerikil terlempar ke pinggir jalan. Di belakangnya, iring-iringan mobil dan motor mengekor. Dramatis sekaligus terpana, Ina menyaksikan pemandangan tak lazim di depan matanya, dan sekarang Ina pun tahu apa yang terjadi. Cuma satu penasaran muncul saat ini.


“Siapakah dia?” orang di dalam mobil putih tersebut.



Sekarang, matahari naik sepenggalan dan jam baru menunjukkan pukul 09.05 pagi. Segala ketergesaan pagi tadi mulai menjadi informasi hangat di kampung mayoritas bersuku Kaili. Ina pun tak tinggal diam, ingin tahu siapakah orang itu. Selepas beberapa langkah Ina meninggalkan rumahnya menuju pantai dengan jalanan mulai lengang, tiga orang pria lewat melintas di depannya. Ina cukup tahu betul, pekerjaan mereka bertiga.


“Mau kemana” teriak Ina kepada tiga pria tersebut.

“Ina tidak tahu beritanya? Tidak lihat tadi ada mobil putih lewat” tanya balik salah satu pria bertubuh legam ke Ina.

“Makanya saya tanya, itu keluarganya siapa” balas Ina kembali dengan rasa penasarannya.

“Ada kedukaan di pantai, Kantu meninggal subuh tadi di Rumah sakit Anuntaloko”

“Innalillahi wa inna ilaihi rojiun”, seketika kalimat itu keluar dari mulut Ina, gemetar tubuhnya tak mampu lagi terbendung. 

Air matanya kini tak lagi terasa menetes di kiri dan kanan pipinya. Teringat wanita pembeli kerang langganannya sejak 7 tahun lalu. Wanita yang selalu terlintas pertama kali untuk membantunya jika Ina membutuhkan pinjaman dan dikembalikan semampunya tanpa perlu memotong hasil kerang jualannya. Bahkan dari wanita tersebut, setiap ons hasil kerangnya selalu diperhitungkan berdasarkan hasil timbangan. Dan ketika hari raya tiba, bungkusan sembako pun selalu diperoleh.


“Ya Allah, mengapa orang baik selalu pergi lebih dahulu” miris Ina dalam hati.


Penghormatan terakhir

Segopoh-gopoh langkah Ina kini terarah ke rumah duka. Dibenaknya, segala kebaikan dan keikhlasan wanita itu terpampang jelas diingatan. Tidak peduli seberapa deras air mata membasahi pipi Ina yang gempal. Wanita tersebut memang bukan keluarganya, tetapi dari beliau, Ina belajar banyak akan kejujuran dan keikhlasan kodrat sang pencipta, bukan hanya hubungan antara penjual dan pembeli.

Pekat malam pun menghampiri, segala proses persiapan jenazah untuk dimakamkan sudah selesai. Dari barisan berjarak 7 meter di depan liang kubur, Ina melihat wanita itu untuk terakhir kalinya terbungkus kain kafan putih. Seketika, doa terbaik terpanjatkan sebagai penghormatan terakhir. Ina selalu ingat, percakapan mereka diawal jumpa 7 tahun silam.



Kita hidup, tidak bisa memilih, mau dilahirkan dikeluarga nelayan, petani, orang miskin atau orang kaya sekalian. Itu sudah ada yang atur. Tinggal kita sebagai wanita, bagaimana agar rumah tangga  kita jaga bersama suami agar tetap nyaman dan betah buat penghuninya begitupun juga buat pendidikan anak. Karena hari ini, kita memang tidak pernah tahu, pendidikan anak kita kelaknya akan membawa mereka menjadi apa. Tapi yang pasti, pendidikan akan merubah nasib kita saat ini menjadi lebih baik, cepat atau lambat


Kalimat ini, akan menjadi motivasi Ina untuk tetap kerja sebagai pencari kerang demi kelanjutan pendidikan anak-anaknya. Sekaligus kalimat peneguh hatinya dan penghormatan terbaik semampu Ina lakukan kepada wanita tersebut dengan menggenggam erat makna kehidupan yang terkandung dari setiap bait demi baitnya.

Pencari kerang
Dermaga di pesisir pantai


#Ditulis dari atas ketinggian 36.000 kaki di atas permukaan laut.
Talif

Saat ini selain sebagai blogger juga bekerja sebagai technical team khususnya dalam dunia kimia perminyakan.

  1. With all my respect for Ina & Kantu too..

    ReplyDelete
  2. Artikelnya bagus, quotenya tentang pendidikan benar-benar jleb. Karena memang pendidikan, salah satu cara yang bisa merubah 'nasib."

    Kalau bisa ditambahkan foto tentang orang dan juga hutan mangrove-nya mas Taumy.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Siap Kak Ris. Sepertinya jadwal kunjungan berikutnya bakal foto orangnya.

      Delete
  3. Menarik mas..
    Pengen blajar jg nih nulis tentang human interest..

    ReplyDelete
  4. keren bang tulisannya! quotenya juga!
    salut untuk perjuangan Ina & kebaikan hati Kantu..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sama-sama kak Lisa. Semoga bermanfaat tulisannya.

      Delete