Halong Bay: Keajaiban Terselimut Kabut
“Many people to come here, just want to visit Halong Bay, so give me one reason why must I leave you in here?”
Suara tegas penuh keyakinan, keluar dari pemandu wisata
kepada seorang pria tua berperawakan tinggi dan berkulit hitam khas benua
Afrika. Mungkin usia beliau masih sekitar 65 tahun, tapi kegelisahan tampak
nyata di wajah beliau saat minivan berisikan rombongan traveller lintas negara
bergerak meninggalkan Old Quarter. Satu dua detik, beliau mencoba menggamit
payungnya, sambil mengeluarkan beberapa kata kepada wanita disamping kiri
beliau. Wanita berkulit putih ini membalas, seakan memberikan kekuatan kepada
sang pria dengan kalimat lembut dan penuh keyakinan. Tatap mata sayu dibalik sepasang
lensa tampak kokoh dikedua mata wanita tersebut. Dan kali ini pun sang wanita
kalah. Kalah untuk meyakinkan sang pria untuk tetap berangkat begitupun juga
dengan kalimat tegas sang pemandu wisata.
“Stop…. I’m sorry, I have serious problem now, so leave me
in here” Ucapan yakin dari pria berkulit hitam tersebut.
“But your pay all for join this trip” Balas sang pemandu,
sekaligus memberikan tantangan atas syarat dan kondisi trip yang tertera
dibalik lembar kuitansi.
“Don’t worry, I have more time for joint again. I just wanna
leave now” kalimat “deal” yang mengharuskan minivan berjalan lambat dan mulai
menepi pada kanan jalan, perlahan dan akhirnya berhenti tepat disisi kanan
jalan.
Tanpa dikomando, sang pria berkulit hitam dengan sedikit
cekatan menuju kedepan, melewati dua baris kursi penumpang, menuju sisi bagian
kanan minivan. Menarik tuas pintu dan perlahan mendorongnya. Cukup satu detik
saja, sang pria berkulit hitam pun sudah berada di trotoar jalan. Seakan merasa
bersalah, sang pria berbalik kearah minivan, melambaikan tangan kepada wanita
yang ditinggalkan, sembari berkata, “semuanya akan baik-baik saja”.
Drama
pagi ini pun menghantui pikaranku diawal perjalanan Hanoi-Halong Bay. Banyak
orang mungkin hanya mengetahui bahwa Halong Bay itu berada di Hanoi, tetapi
kali ini aku membuktikan Hanoi dan Halong Bay terpisah jarak 150 km, butuh
waktu sekitar 3.5 jam perjalanan. Disaat bersamaan, minivan sudah melintasi
jembatan diatas Sungai merah yang terkenal itu. Terkenal karena panjangnya
melintasi dua Negara yaitu China dan Vietnam, meskipun tidak sepanjang sungai
Mekong
Hari ini tepat tanggal 11 April 2015, sang pemandu wisata
pun memulai dengan memperkenalkan kota Hanoi dan delta sungai merah. Mulai dari
munculnya kota Hanoi, sampai pertanian yang ada disisi sungai merah. Kombinasi
dunia modern dan tradisional pun tampak nyata. Disisi kanan Sungai, bangunan
megah, tinggi nan artistik berhamburan dengan rapi. Disisi lain sungai, deretan
terasering dengan perairan dari sungai merah terpampang hijau menghampar
sepanjang mata memandang. Keduanya hanya dipisahkan dengan sungai merah ini.
Minivan tetap melaju dan pemandu wisata lagi-lagi memberikan
pertanyaan kepada seluruh rombongan.
“How long time you waiting to come Halong Bay?”
Lelaki berambut putih, berkaca mata dan duduk di baris
ketiga, kursi nomor dua dari kiri pun menjawab, “40 years”.
Motif abstrak pada pakaian biru beliau, seakan memberikan
kesan abstrak pula kepadaku.
“Ah tidak mungkin". Bagaimana bisa, lelaki ini yang akhirnyas
aku ketahui berasal dari New York, Amerika Serikat, mengenal Halong Bay 40
tahun lalu. Apakah sebegitu terkenalnya tempat ini, sampai 40 tahun lalu beliau
sudah mengetahui keindahan Halong Bay” nalarku merontak tidak terima. Tak ada
alasan logis bisa kucerna terkait jawaban itu.
“Mana mungkin….mana mungkin..mana mungkin…” berontak diriku
dalam hati.
Aku saja baru mengetahui keindahan Halong Bay ketika menjadi
salah satu pemenang 7 keajaiban alami di dunia bersama dengan pulau Komodo 4
tahun silam. Maka saat itulah aku memiliki impian untuk mengunjungi tempat ini.
“Sedangkan beliau, 40 tahun lalu, terpaut 36 tahun dengan
aku dalam hal mengetahui keindahan Halong Bay. Apakah ada hubungannya dengan
sejarah Vietnam dan Amerika dimasa lampau?”
Sudah lah, toh juga ini hanya pertanyaan. Setiap orang pasti
memiliki jawaban dan mimpi berbeda, tetapi hari ini akan terjawab, masa
penantian tersebut.
“Woow..Amazing..But today, your dream come true, you will to
see how amazing and beautiful Halong” ungkapan dari pemandu ketika beberapa orang
sudah memberikan jawabannya.
Dan saat ini, kami masih diatas minivan, melintasi jalan
beraspal dengan sopir cekatan dan fokus mengemudi, duduk di depan sisi bagian
kiri minivan. Tak ada lagi pertanyaan
ataupun penjelasan dari pemandu wisata, masing-masing orang sudah mulai membuat
nyaman dirinya selama perjalanan. Aku pun mulai merogoh tas dibawah tempat
duduk, menyisir kiri dan kanan dari bagian tas, dan akhirnya kabel panjang
berwarna putih pun aku keluarkan. Salah satu ujung kabel dilapisi logam dengan
ujung tumpul dan tiga garis putih dengan mantab berada disetiap panjang lapisan
logam itu. Aku tancapkan kedalam lubang berdimensi sama dengan ujung logam
tersebut. Sisi lain kabel putih membentuk percabangan simetris tertera tulisan
“Samsung”, aku pasangkan dikedua lubang telinga. Kode “R” untuk telinga bagian
kanan dan kode “L” untuk telinga bagian kiri. Rangkaian selesai, tombol
dibagian bawah peralatan elektronik pun aku tekan, memilih beberapa menu pada
layar dan akhirnya irama intro dari Maher Zein pun terdengar. “Open your eyes”.
Deretan-deretan lagu lain pun antri sesuai urutannya pada folder My Music.
Lagu-lagu ini akan mengisi sepanjang perjalanan. Tak lagi kuhiraukan drama awal
tadi, tak pula memikirkan pernyataan 40 tahun dari lelaki Amerika untuk
mengunjungi Halong Bay, yang ada hanyalah lirik-lirik bermakna diiringi
instrumen musik harmoni, dan pemandangan berbeda disisi kanan jalan.
“Lets go, follow me, so many people in here” teriak pemandu
untuk segera mengikutinya, ketika minivan sudah bersandar di pelabuhan
penyeberangan menuju Halong Bay.
Kami semua digiring melewati jalan menerobos rombongan lain,
dikiri tampak gedung 3 lantai dengan atap unik bergelombang. Dikanan jalan
tertulis Nha Ve Sinh dalam bahasa Indonesia berarti kakus, dan kami pun
berhenti tepat didepan tempat pembelian tiket sebagai tempat berkumpul. Kami
tak perlu antri untuk mendapatkan tiket, karena semuanya telah diatur oleh
pemandu. Sambil menunggu tiket dibeli, aku pun mencoba mendekati pagar pembatas
antara penumpang dengan kapal. Tampak kapal dengan bendera berlambangkan
bintang berwarna kuning dengan latar merah terkibar dilangit berkabut.
Beberapa
pohon berbaris teratur sepanjang pagar, rantingnya tampak tak berdaun, anehnya
tak selembar daun pun aku temukan dibawah lantai berwarna abu-abu tersebut.
Sempat terbaca, Thanh chong, Ben Hai, White Tiger, dan Ha Binh sebagai
identitas kapal.
Langkahku teralihkan saat sang pemandu melambai-lambai kan
tangannya, dengan menggenggam beberapa lembar kertas berwarna biru. Tak butuh
berapa lama, selembar kertas itu pun berpindah ke tanganku, tertulis angka VND
120.000. Kertas ini sebagai boarding tiket untuk naik ke Ha Binh 38.
Jangkar ditarik, mesin diesel pun mulai berbunyi, perlahan
Ha Binh 38 mulai meninggalkan dermaga. Semua penumpang pun sekarang berada di
lantai 1. Lantai untuk berkumpul sekaligus sebagai tempat makan siang. Deretan
meja dan kursi tertata layaknya restoran, 6 orang untuk satu meja. Tanpa
menunggu lama, makan siang pun keluar satu per satu, menu dengan tema hasil
olahan laut memenuhi meja kami. Satu yang tak ada, air minum.
“Bagaimana mungkin, makan siang sebegitu lengkap tanpa
adanya segelas air minum pun” Nalarku mulai bertanya.
Belum sempat terjawab,
pramusaji pun keluar dengan membawa beraneka jenis minuman, menawarkan satu per
satu kesetiap meja. Ternyata air minumnya harus dibeli dengan harga 3 sampai 4
kali lipat dari harga ketika minuman ini berada di darat. Untunglah, kebiasaan
membawa air mineral dalam botol membantu saat ini. Kukeluarkan botol minuman
berukuran 1.5 liter dan tanpa basa-basi, aku pun melanjutkan makan siang diatas
laut.
Pada sumpitan terakhirku, beberapa orang sudah menyelesaikan
ritual makannya, mereka bergegas keluar dan duduk diburitan kapal. Satu dua
orang naik ke dek lantai 2, sekedar bersantai sambil melihat pemandangan tak
lazim. Pemandangan batu karst yang berdiri diatas air. Aku pun bergegas,
tertarik dan tak mau ketinggalan sesenti pun untuk menyaksikan keindahan alam
ini. Tampak beberapa konfigurasi batu karst, ada bergerombol membentuk gugusan
bukit, ada pula sendiri, tampak angkuh tak bergabung dengan lainnya.
Masing-masing menawarkan pesona berbeda. Laju kapal pun mendukung, bergerak
perlahan diantara gerombolan bukit karst. Beberapa bagian bukit berwarna hijau
dipenuhi pepohonan, abstrak, tak beraturan. Corak putih terkombinasi abu-abu,
tampak vertikal dan menonjol disisi depan bukit. Latar hijau air laut dan
langit putih berkabut menjadi pelengkap keindahan, terpampang jelas didepan
mata. Maka benar lah adanya, bahwa keajiban Halong Bay terselimut kabut, butuh untuk didekati.
Syukur terucap berkali-kali atas kebesaran maha pencipta. Dihari ini,
tepat aku berganti umur, bisa menyaksikan keindahan luar biasa di negeri
berjarak ribuan kilometer dari tanah kelahiran. Kado terindah yang pernah ada.
Alhamdulillah.
#ForEveryMomentIHave
Kayaking
Me time
Jadi kepingin ke India Kak. Air Asia ada yg langsung ke sana ya? Oh ya, pake visa kah?
ReplyDelete