MASIGNASUKAv102
1508570391356967755

Biogas Desa Sendang; Dari Sapi Perah Hingga Energi Terbarukan

Biogas Desa Sendang; Dari Sapi Perah Hingga Energi Terbarukan
Add Comments
22 November 2023

 Bluk….bluk….bluk…bluk…bluk….

Seketika, suara ini cukup mengganggu konsentrasi, saat proses perah susu sapi sedang berlangsung.  Apalagi ini adalah pengalaman pertama saya. 

Tetapi dengan santai, pemilik sapi membantu dan membereskan masalah ini. Dengan sigap, mengambil tongkat pendorong untuk mengarahkan kotoran sapi yang berbunyi tadi ke jalur penampungan kotoran sapi.

sapi perah

Bagi warga desa Sendang Kab Tulungagung, sapi sudah menjadi harta karun berharga. Bahkan setiap bagiannya, mereka menyebutkan dalam kata “emas”. Emas merah untuk daging sapi. Emas putih untuk susu sapi dan emas kuning untuk kotoran sapi. Loh kok bisa? Kotoran sapi disebut Emas Kuning. Kalau daging dan susu sapi, it’s ok lah karena memang memberikan penghasilan langsung kepada pemilik, tapi kotoran sapi ini loh. Bisa-bisanya disebut emas kuning.

Usut punya usut, itu karena kotoran sapi yang ada dari setiap warga pemilik sapi di desa Sendang dimanfaatkan kembali untuk kebutuhan rumah tangga sebagai sumber bahan baku pembuatan biogas

Transisi Energi dari Gas Elpiji ke Biogas Kotoran Sapi

Coba deh, dicek rumah masing-masing. Untuk masak memasak, umumnya menggunakan gas elpiji. Hal berbeda, jika berkunjung ke desa Sendang. Disini, sebagian besar warganya sudah menggunakan biogas kotoran sapi.

“Energi Biogas merupakan energi yang berasal dari limbah organik seperti kotoran sapi atau limbah dapur lainnya seperti sayuran, buah yang sudah digunakan. Limbah organik ini, akan mengalami proses penguraian pada lingkungan kedap udara menghasilkan gas metana (CH4) dan karbondioksida (CO2). Gas metana dari proses ini lah yang sering digunakan sebagai sumber energi biogas.”

Perjalanan kotoran sapi yang jatuh tadi, kemudian didorong dengan jalur yang sudah dibuat untuk langsung dimasukkan ke dalam tangki penampungan layaknya septic tank. Hasil dari proses penguraian kotoran sapi ini lah yang digunakan warga desa Sendang sebagai energi terbarukan pengganti elpiji untuk keperluan masak-memasak.

Bahkan salah satu pemilik peternakan perah susu sapi yang saya datangi mengatakan bahwa, sejak adanya program pembuatan biogas ini maka kami sekeluarga sudah menghemat banyak. Tidak perlu lagi mengeluarkan duit, untuk beli elpiji. Cukup dari kotoran sapi yang kami miliki dan tidak pernah habis. Itu lah mengapa, kotoran sapi di desa Sendang disebut emas kuning.

Sebuah Proses Panjang

Sebagai salah satu daerah penghasil susu sapi, desa sendang tidak serta merta menggunakan kotoran sapi sebagai biogas. Awalnya, masyarakat sekitar memanfaatkan kotoran sapi sebagai bahan pembuatan pupuk kandang. Apalagi jumlahnya melimpah. Semakin banyak jumlah sapi perah yang dimiliki maka semakin banyak pula kotoran sapi dihasilkan.

kotoran sapi

Melalui program pengembangan desa mandiri energi di Tulungagung yang didukung oleh Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintah Daerah (BPMPD) kabupaten Tulungagung akhirnya desa Sendang juga secara bertahap melakukan konversi pemanfaatan kotoran sapi ini menjadi biogas.

Mengikuti keberhasilan desa Sidomulyo sebagai desa pelaksana terbaik tingkat nasional dalam pelaksanaan program Pemberdayaan Masyarakat dalam pengelolaan pilot project desa Mandiri energi tahun 2014. Di desa Sendang sendiri, biogas baru dikembangkan sekitar tahun 2020 sebagai bagian perluasan program desa mandiri energi kabupaten Tulungagung.

Tantangan Pengembangan Biogas di Indonesia

Keberhasilan desa Sendang dan desa Sidomulyo dalam memanfaatkan kotoran sapi yang kemudian diubah menjadi biogas adalah salah satu contoh kecil dari berbagai contoh lain di Indonesia.

peta energi terbarukan di Indonesia
Data biogas 2023

Ada beberapa tantangan dalam pengembangan dan penerapan biogas di masyarakat antara lain:

1. Akses pendanaan program

Banyak masyarakat sebenarnya punya potensi untuk pengembangan biogas seperti memiliki ternak sapi perah. Tetapi karena akses pendanaan program pembangunan fasilitas digester dan penunjang lainnya, maka bisa jadi program konversi energi ini menjadi terhambat.

2. Kurangnya ketersediaan teknologi

Meskipun diatas kertas, proses pembuatan biogas terlihat simpel tetapi ada transfer teknologi di dalamnya. Mulai dari proses dekomposisi dan membuat sistem agar tidak mudah bocor. Nah, ketersediaan teknologi pendukung seperti ini masih terbatas di kalangan tertentu saja, belum merata hingga lapisan masyarakat sebagai pelaksana.

3. Tata kelola belum optimal

Tata kelola juga menjadi hal penting jika program transfer bioenergi ini ingin berhasil. Keterlibatan semua pihak, harus ada agar ke depan tata kelola pelaksanaannya bisa dioptimalkan.

4. Kurangnya investasi

Beberapa daerah yang berhasil menerapkan bioenergi karena memang mendapatkan suntikan dana dari pemerintah, entah itu daerah maupun pusat. Tetapi jika ingin dikelola secara nasional, maka perlu didukung dengan jumlah investasi yang memadai. Seperti yang disampaikan pada online gathering #EcoBloggerSquad bahwa investasi dalam pemanfaatan energi terbarukan harus selaras dengan tujuan nasional.

Saya sih percaya, bahwa jika semakin banyak yang memanfaatkan energi terbarukan seperti biogas ini maka lama kelamaan, polusi udara bisa diselesaikan. Termasuk dalam hal ketergantungan dengan energi fosil. Percaya deh.

Talif

Saat ini selain sebagai blogger juga bekerja sebagai technical team khususnya dalam dunia kimia perminyakan.