Alunan tabuhan gendang terdengar nyaring mengusik telinga. Bahkan dari jarak ratusan meter, alunan ini masih terdengar begitu jelas. Tampak dengan cekatan, sekelompok ibu-ibu lihai menabuh sehingga tercipta nada harmonis.
Menariknya, setiap kali mereka bergerak, terdengar suara gemericik dari lempengan bulat yang digantungkan di belakang tubuh mereka. Warga Bea Muring menyebut atraksi ini bernama Tarian Caci atau Cicaci.
Layaknya ksatria, seluruh penari caci adalah laki-laki. Sepanjang menikmati tarian, mereka akan saling serang menggunakan cemeti. Sedangkan tim bertahan, menghalaunya menggunakan tameng. Tidak jarang, darah segar bermunculan dari tubuh mereka yang terkena cemeti. Tetapi dengan menggunakan ramuan kapur dan daun sirih pendarahan ini akan berhenti seketika.
Inilah sajian menarik yang bisa dinikmati kala berkunjung ke Bea Muring. Keindahan dan budaya khasnya menjadi daya tarik tersendiri. Bahkan bisa menjadi potensi ekonomi di wilayah adat.
Tentang Masyarakat Adat
Sebelum jauh membahas tentang masyarakat adat Bea Muring, sebaiknya perlu diketahui terlebih dahulu apa itu masyarakat adat. Kebetulan sekali, pada saat mengikuti online gathering #EcoBloggerSquad dengan tema “Peran Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal dalam Menjaga Bumi” disebutkan definisi terkait masyarakat adat.
“Masyarakat adat adalah sekelompok manusia yang oleh ikatan genealogis dan/atau teritorial yang menyejarah, turun-temurun lintas generasi, memiliki identitas budaya yang sama dan memiliki ikatan batiniah yang kuat atas suatu ruang geografis tertentu sebagai ‘rumah bersama’ yang dikuasai, dijaga dan dikelola secara turun temurun sebagai wilayah kehidupan dari leluhurnya”.
Karena memiliki ikatan batiniah dan kesetiaan yang kuat antara masyarakat adat dengan wilayah adatnya makanya tidak heran jika hubungan ini sudah membentuk kosmologi, budaya dan kehidupan yang pastinya tidak terpisahkan dari alam semesta.
Online gathering tentang peran masyarakat adat |
Sebuah Tantangan dalam Keterbatasan
Awal kehadiran Romo Marsel di Bea Muring dan menjadi bagian dari masyarakat adat di sana memiliki banyak tantangan. Mulai dari akses jalan yang sulit, listrik terbatas dan hanya mengandalkan mesin genset.
Masalah timbul ketika malam hari, kala puluhan mesin genset beroperasi secara serentak. Terpampang dengan jelas polusi udara yang dihasilkan. Belum lagi suara bising mesin genset. Alih-alih memberikan solusi penerangan buat masyarakat yang hanya sampai tengah malam saja, malah menghasilkan masalah baru. Polusi udara dan suara ke lingkungan.
Romo Marsel (paling kiri) bersama masyarakat adat Bea Muring |
Gayung bersambut, masyarakat pun antusias akan solusi penggunaan aliran sungai untuk menghasilkan listrik. Meskipun aliran sungai kecil, tetapi dengan modifikasi aliran sudah cukup untuk membuat Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH).
Apalagi teknologi baru ini benar-benar ramah lingkungan. Masalah listrik teratasi, lingkungan hidup juga terjaga.
“Meskipun masyarakat adat Bea Muring memiliki kuasa untuk menguasai alam ciptaan, tetapi disamping itu juga manusia dituntut untuk menjaga dan memelihara alam sekitar (Romo Marsel)”.
Musibah yang Menghempaskan Asa
Selama 6 tahun perjalanan penggunaan PLTMH di Bea Muring, tanpa diduga bencana banjir datang menghampiri. Debit air yang awalnya sangat kecil, kini berubah menjadi banjir. Padahal kala itu, hujan lebat hanya terjadi 2,5 jam saja. Ini adalah banjir besar pertama sepanjang sejarah Bea Muring. Dampak dari perubahan iklim bumi.
Banjir ini menyebabkan tanggul PLTMH jebol. Rumah turbin rusak parah. Dinamo pembangkit listrik juga rusak karena dipenuhi banyak pasir. Aliran listrik otomatis terputus dan perkampungan kembali gelap tanpa penerangan listrik PLTMH.
Tanggul di sungai Bea Muring |
Menjaga Alam, Maka Alam Menjaga Kita
Pasca perbaikan PLTMH sebagai sumber energi listrik ramah lingkungan, masyarakat adat Bea Muring kembali fokus dalam menjaga lingkungan.
Himbauan demi himbauan terus bergema di gereja paroki yang diikuti dengan gerakan nyata. Mulai dari penanaman pohon di sekitar daerah aliran sungai (DAS) hingga pemanfaatan lahan dan pengolahan sumber mata air secara bijak. Karena bagi masyarakat adat, jika menjaga alam, maka alam pasti akan menjaga balik.
Terlibat langsung dalam penanaman pohon disekitar DAS sungai Bea Muring |
Maka wajar, jika Ibu Rukka Sombolinggi dalam online gathering menyampaikan bahwa, “wilayah adat memiliki potensi sumber daya yang luar biasa. Potensi tersebut baik sumber daya, kebudayaan, spiritual, ekonomi dan politik yang tak ternilai harganya”.
Layaknya Bea Muring dengan potensi budaya lokal yang unik serta penghasil cengkeh dan kopi di samping sayur-sayuran khas pegunungan akan tetap lestari. Seperti masyarakat adatnya yang selalu menjaga alam dan lingkungan.
Kopi Arabika sebagai salah satu komoditas Bea Muring |
comment 0 komentar
more_vert