“Welcome to Muscat”. Ucapan ini terdengar dari salah satu flight attendant sesaat ketika pesawat yang ku tumpangi mendarat.
Pukul 10 malam waktu Muscat, pesawat Oman Air yang membawaku terbang dari Jakarta menuju Oman, mendarat sempurna di bandar udara Internasional Muscat. Melalui layar kaca inflight entertainment yang ada, aku perhatikan dengan lamat. Temperatur di luar tertulis 40 derajat celcius. Sebuah angka yang tidak pernah aku lihat ketika berada di indonesia. Sudah terbayang dalam pikiran memang, bagaimana panasnya angka 40 derajat celcius. Di Indonesia saja, angka 30 derajat celcius, sudah tidak betah berlama-lama diluar. Pasti langsung menuju ruangan ber-AC. Nah ini, 40 derajat celcius.
Benar saja. Tepat, setelah pintu pesawat dibuka satu per satu penumpang mulai turun menuju bis, bukan menggunakan garbarata. Bis ini yang akan mengantarkan kami ke area kedatangan Internasional.
Langkah demi langkah dari area kelas ekonomi pesawat menuju pintu yang terbuka semakin dekat. Hingga, tiba-tiba tepat dibibir pintu. Buuuss…Seketika, udara panas menyapa sekujur tubuh. Aku belum siap dengan terpaan angin panas seperti ini. Padahal, baru beberapa detik yang lalu di dalam pesawat dinginnya AC menemani penerbangan tanpa henti selama 8 jam dan sekarang serasa tubuh ini masuk kedalam oven.
Bergegas, langkah kaki ku percepat menuju bus yang berjarak sekitar 10 meter dari ujung tangga. Syukurlah, AC bus ini berfungsi dengan sempurna. Tidak perlu menunggu lama, karena kali ini pesawat berbadan besar yang terbang pukul 5 sore tadi dari Jakarta hanya berpenumpang kurang dari 30 orang yang membuat pesawat ini serasa milik pribadi. Kebayang kan, naik pesawat Airbus A330 dengan kapasitas 440 penumpang hanya diisi dengan 30 orang saja. Pastinya lega sekali.
Salah satu kawasan gurun pasir di Oman |
Di dalam bis, tidak lebih dari 5 menit perjalanan, bis sudah mengantarkan kami ke area kedatangan. Pintu kaca otomatis, terbuka menyambut penumpang yang akan melewati imigrasi. Hanya ada 4 konter yang dibuka, dengan seksama aku pun ikut antre berbaris sebelum dipanggil oleh pria menggunakan mussar bermotif hitam putih di kepalanya.
Di Oman, Ketika Menyebutkan “Indonesia” maka Mereka Mengenal “Puncak Bogor”
“Ah, Indonesia…Apa kabar”
Begitulah sapaan awal yang terdengar dari petugas imigrasi, penuh kehangatan dengan Bahasa Indonesia yang sangat jelas di telingaku setelah melakukan scan paspor berlambang burung garuda, milikku. Beliau pun sesekali memastikan VISA yang ku punya valid.
“Alhamdulillah baik” itulah jawaban yang terucap.
Dalam benakku, baru pertama kali ke timur tengah dan disambut oleh petugas imigrasi yang bisa berbahasa Indonesia. Sebuah penghargaan akan bahasa negaraku.
Kali ini petugas tersebut bercerita sesaat, beliau pun tidak terlalu peduli dengan antrean di belakang. Mungkin saja karena jumlahnya yang tidak terlalu banyak. Beliau menceritakan perjalanan dahulu ke Jakarta, Bogor dan Bandung untuk liburan. Semuanya mengalir begitu hangat tidak lebih dari 2 menit, sebelum stempel tanda masuk Oman, tercetak di halaman 34 paspor hijau yang setia menemani. Beliau benar-benar takjub akan nuansa yang ada di Puncak Bogor. Bahkan setiap detail beberapa lokasi masih teringat.
Baca juga: Sheikh Zayed Grand Mosque-Abu Dhabi
Hari yang melelahkan, ini adalah pengalaman pertama terbang selama 8 jam non stop dengan perbedaan waktu lebih lambat 4 jam antara Jakarta dan suhu lingkungan yang drastis panas 40 derajat celcius membuat ku harus tetap menghidrasi tubuh.
Tak perlu berlama-lama, sambil menunggu bagasi keluar dari conveyor belt yang terus berputar. Sebotol air mineral sudah cukup mampu untuk mengatasi masalah hidari tubuh. Bagiku, tidak terlalu sulit menjalani perjalanan sejauh ini. Berbekal pengalaman liburan ke beberapa negara Asia Tenggara sebelum akhirnya, kali ini terbang ke Oman.
Rial Oman, Kurs Mata Uang yang Melebihi Dollar Amerika
Satu minggu sebelum berangkat ke Oman, aku mulai persiapan untuk menukarkan uang rupiah ke Rial Oman. Beberapa money changer ternama kudatangi. Tetapi, ternyata mereka semua tidak memiliki persediaan mata uang Rial Oman. Bahkan, hingga 3 hari sebelum pemberangkatan. Tidak ada satu pun, money changer yang menyediakan mata uang ini.
Akhirnya, aku putuskan untuk menukar mata uang rupiah ke dollar Amerika terlebih dahulu. Dalam benakku, setidaknya akan lebih aman jika membawa uang Dollar dibanding uang rupiah.
Selain itu, aku juga mencoba menghubungi bank tempat menabung untuk memastikan bahwa ATM yang aku miliki bisa digunakan untuk tarik tunai di Oman. Dari operator call center memastikan bahwa tarik tunai bisa digunakan di berbagai layanan ATM yang ada di Oman dengan logo VISA, sesuai logo pada kartu ATM ku.
Setelah mengambil bagasi, aku memutuskan untuk ke mesin ATM terlebih dahulu. Letaknya tepat di sisi kanan sebelum pintu keluar kedatangan. Beberapa logo tertera pada bagian atas mesin ATM, mulai dari VISA, MasterCard, Cirrus dan lain-lain.
Benar saja, kartu ATM yang ku punya bisa digunakan untuk tarik tunai. Uniknya, mata uang Rial Oman ini memiliki ukuran lebih panjang dan lebih lebar dibanding ukuran uang rupiah atau pun dollar Amerika. Sehingga untuk sempurna masuk ke dompet, harus dilipat terlebih dahulu. Pada saat itu, kurs 1 Rial Oman setara dengan Rp 39.000 atau sekitar USD 2,78. Akhirnya aku dapat pengetahuan baru lagi, bahwa ternyata mata uang Rial Oman memiliki nilai tukar lebih tinggi dibanding Dollar Amerika.
Transportasi Menuju Kota dari Bandara Muscat
Setelah keluar dari area kedatangan, sebenarnya ada dua cara menuju dalam kota dari bandara jika tidak memiliki layanan jemputan. Bisa menggunakan Bus Bandara atau Taksi.
Jika menggunakan Bus Bandara maka perhatikan nomor bus dan tujuannya yang terletak pada bagian depan dan belakang bus. Tetapi, perlu diingat bahwa, jika memilih menggunakan bus, maka pemberhentiannya hanya pada halte dan terminal akhir. Biayanya cukup terjangkau. Tetapi, jika ingin langsung sampai tujuan, maka taksi adalah pilihan terbaik, meskipun beberapa taksi tidak menggunakan argometer sehingga butuh negosiasi di awal.
Untungnya, sebelum berangkat menuju Oman, aku memilih menggunakan jasa jemputan dari hotel. Biayanya sudah jelas tertera ketika melakukan pemesanan hotel. Jadi tidak butuh ekstra effort untuk negosiasi atau khawatir bakal argometer melonjak tinggi.
Keluar dari area kedatangan, aku tinggal mencari papan nama diriku untuk segera mengantarkan ke hotel tempat menginap selama berada di Muscat.
Jarak bandara dengan hotel ternyata tidak begitu jauh. Tidak lebih dari 15 menit, kendaraan yang ku tumpangi tiba di hotel tujuan. Cukup menunjukkan paspor, maka proses check in berjalan lancar.
Setiba di kamar, barulah rasa lapar menghampiri. Awalnya, ingin memesan layanan service makan dari hotel tetapi, pikiranku berubah untuk mencoba kuliner malam di sekitar hotel. Berbekal informasi dari resepsionis, aku putuskan untuk berjalan kaki menuju Al Nabhani Complex dan memilih sepotong kebab dengan isian daging. Ukurannya cukup besar untuk porsi Indonesia. Akhirnya, urusan perut selesai dan waktunya istirahat untuk mengembalikan stamina tubuh setelah perjalanan panjang.
Sebelum beranjak tidur, dari balik jendela tampak dengan megah kubah masjid yang berkilau keemasan. Masjid ini terkenal dengan nama Masjid Sultan Qaboos. Masjid termegah yang ada di Oman. Besok setelah hari terang, maka perjalanan akan berlanjut untuk eksplorasi Masjid ini. Saatnya mimpi indah di negeri Sultan Qaboos.
Suasana dalam kabin Oman Air dengan Penumpang yang sedikit |
Baru tau kurs Rial Oman gede juga nilai tukarnya. Mau nanya kalau kebab 1 berapaan ya? Kebayang mahal
ReplyDeletePergi ke Oman sendirian aja nih, Mas Taumy? Hihihii...ngebayangin suhu 40 derajat celcius ya jadi ingat ketika umroh dulu 41-42 terasa super hot. Btw lucu juga ya ada petugas bandara yang pernah jalan2 ke kota2 di Indonesia trus bisa berbahasa Indonesia. Itu uang Oman lebih panjang dan lebar sama ga perlakuannya kayak dolar USD di kita? Yang kalo mau dituker kudu lurus mulus? Wkwkwkwkw...
ReplyDeleteMusim panas ya ke sananya? Aku aja ngetrip pas udah musim gugur, panasnya masih kebangetan. Overal saya suka sih Muscat. Arab tapi orang asing masih bisa berpakaian sesuai budayanya.
ReplyDeleteWah aku belum pernah nih Oman. Ya ampun panas banget ya sampai 40 derajat Celsius, aku juga pernah ke Arab Saudi pas lagi musim panas dan panasnya gak kira-kira ya ampun mau nangis hehehe. Semoga nanti saya juga bisa berwisata ke Oman.
ReplyDeletesoon aku habis baca ceritanya bang Taumi ini jadi booster semoga suatu saat bisa ke Oman, tapi ya harus kuat-kuat dengan cuacanya yg super hot itu
ReplyDeleteWow nggak kebayang deh bisa sampai ke Oman, baru sampai saja rasanya ikut deg-degan dengan suhunya yang luar biasa..ditunggu lanjutan ceritanya ya..
ReplyDeletePlease yg mau ke oman ajak aku
ReplyDelete