Mimpi Anak Pantai Tambu
Subuh baru saja berlalu, saat langkah kaki
kualihkan menuju tempat pelelangan ikan. Belum banyak aktivitas yang tampak.
Tak ada suara motor, bising kendaraan atau pun suara klakson yang saling sahut-menyahut.
Disisi kiri bangunan, terpampang plang bertuliskan "Kawasan Perlindungan
Laut" lengkap dengan peta tak berskala dan desa-desa disekitarnya, ada
Malakosa, Tolai dan Piore. Beberapa depa dari tempatku berdiri, dermaga kayu
menjorok ke pulau sebelah. Seakan dermaga itu menjadi saksi akan budaya dan
kehidupan pantai Tambu secara turun-temurun.
Sudah 30 menit, matahari pun mulai
perlahan terbit, menghilangkan pekatnya subuh. Tergantikan jingganya lazuardi
sepanjang bentangan khatulistiwa. Satu-dua, perahu berdayung sudah tampak mulai
melintas, menuju keramba apung, berharap ada rejeki yang bisa dikais disana.
Pulau seberang pun mulai terlihat lekukan putih pasir pantainya.
Aku bergegas, membawa gayung buatan ayahku
berwarna merah bata, terbuat dari kemasan bekas pelumas 5 liter. Bagian
atasnya dimodifikasi menggunakan kayu dan tali agar bisa untuk menimba air nantinya.
Di kiri jalan, pesona air laut menari-nari
dengan riak ombak yang tak seberapa tinggi. Jingga mentari masih terpantul di
atasnya. Di kananku, hanya ada deretan pohon ketapang menemani dan segera berganti
hutan mangrove tepat 5 meter kedepan. Jalan setapak dengan jembatan
kecil dari batang pohon sagu menjadi akses utama menuju tempat mandi. Kami
menyebutnya Tajene, ‘sebuah sumber air berbentuk kolam terbuka, ukurannya tidak
lebih dari 2 x 2 meter persegi’. Kolam ini selalu rindang, terlindungi dari kelompok
pelepah dedaunan pohon sagu. Dari sini lah, sumber air untuk mandi dan mencuci
pakaian.
Pagi pekat, seperti hari-hari sebelumnya
selalu hanya ada kami berempat, setia mandi di Tajene. Aku dan La-tang,
sobat seperjuanganku ditingkat akhir SMP dan dua adik kelasku. Semua proses
mandi harus kami selesaikan dan balik ke rumah sebelum pukul 6 pagi.
“Ketemu di Ketapang ya” ucapku ke La-Tang sebelum berpisah menuju rumah panggung masing-masing. Jarak rumah kami terpisahkan
50 meter.
Tidak jauh dari rumah La-Tang, tumbuh mendongak
sebuah pohon Ketapang dibawahnya dibuat ‘dekker’ dari bilah-bilah bambu dengan
tonggak penguat batang mangrove. Dekker ini digunakan sebagai tempat duduk,
meneduh atau menunggu nelayan, pulang melaut.
Senin adalah hari pertama kami menjalani EBTANAS.
Sengaja benar kami pagi-pagi menuju sekolah dengan jarak 5 kilometer dari
pesisir tempat tinggal, agar bisa melihat ruangan tempat ujian yang akan
menjadi saksi hasil belajar selama 3 tahun lamanya. Tetapi jika dipikir
kembali, ruangan mana pun tidak ada bedanya, karena di Sekolah Lanjutan Tingkat
Pertama Negeri 3 Sausu, semua rungannya hampir sama, apalagi hanya untuk kami
berdua puluh. Perasaan ragu, gugup dan kekhawatiran terlihat dengan jelas
diraut wajah, bahkan rasa itu semakin membuncah saat lonceng dari rongsokan
besi toko tukang service motor
berbunyi nyaring. Ini lah saat penentu itu. Tanpa perlu disuruh, kami berbaris
di depan kelas, 3 berbanjar menanti guru penjaga ujian tiba.
Dua menit berlalu, dari kejauhan terlihat seorang
pria separuh baya, rambutnya ikal dengan wajah bersahabat, baju batik biru khas KORPRI menyempurnakan penampilan beliau, di kanan baju tercetak I Putu Widiana.
Tepat di depan kelas, Pak Widiana menyambut kami
dengan senyuman sambil mempersilahkan masuk ke dalam kelas dan duduk di bangku
yang sudah tertulis nomor induk masing-masing.
“Selamat pagi pak guru” serentak salam terucapkan dari seluruh penghuni kelas.
Pak Widiana pun tersenyum menjawabnya, sambil
mengajak berdoa sebelum ujian dimulai.
Tanpa perlu memperpanjang waktu lagi, satu per
satu kertas soal dan jawaban dibagikan. Hari ini mata pelajaran Ilmu
Pengetahuan Alam menjadi mata pelajaran pembuka. Ada 50 soal dan jawabannya diisi
dengan memberikan tanda silang pada pilihan A, B, C atau D. Seketika itu pula,
ruangan menjadi hening, hanya ada suara lembaran soal dibolak-balik.
Sesekali terdengar samar soal-soal yang dibaca berulang-ulang oleh La-Tang,
entah karena dia tidak paham maksud pertanyaanya atau memang La-Tang tidak mengetahui
jawabannya.
“Ah. Entah lah” gumamku dalam hati.
Delapan puluh menit berlalu, raut muka sudah
mulai memerah, kernyit pada dahi benar-benar tercetak dengan jelas. Suara-suara
ujung pensil di atas kertas jawaban semakin ramai. Semua mulai sibuk
membolak-balikan kembali lembaran soal dan memastikan lembar jawaban sudah
terisi sempurna.
“Tinggal 5 menit lagi” suara lantang dari pak
Widiana mulai membuyarkan pikirin seluruh penghuni kelas. Aku pun sendiri sudah
selesai sebelum 5 menit itu terucapkan. Rekan lain secara serentak segera
menyelesaikan dengan baik jawabannya, karena kami masih ingat dengan jelas,
nasehat dari pak Wayan Suterna, wali kelas kami yang membujang di umur beliau mendekati kepala empat.
“Jika waktunya hampir habis, silahkan tetap disilang jawabannya dan berdoa semoga keberuntungan menyertai kita” begitulah kiranya nasihat beliau.
Nasihat yang menjadi jurus terakhir dan hampir
seisi kelas menggunakannya. Lonceng kembali berbunyi, tanda berakhirnya waktu
ujian dan hari pertama pun terlewati dengan baik.
“La-Tang bagaimana ujiannya, bisa tidak?” selidikku
sambil berjalan pulang ke rumah di pesisir.
Hari
ini, dibawah terik matahari menyengat kulit, kami menyusuri kebun warga Kampung
Atas sebagai akses pulang ke rumah.
“Lumayan,
meskipun tadi sempat panik ketika pak Widiana mengucapkan tinggal 5 menit,
langsung saya silang sepuluh nomor lainnya, agar terisi semua” ujar La-Tang
dengan mimik serius.
“Ah…Untung
lah, jurus itu kamu gunakan Tang” ungkap ku seraya bersyukur kepadanya.
Obrolan
masalah ujian tadi menyertai perjalanan pulang. Dari kebun warga, kini berganti
menjadi jalan berkerikil. Debu-debu jalanan beterbangan dan menempel manja di
sepatu hitam merek ATT. Sepatu ini benar-benar setia menemaniku selama tiga
tahun, meskipun ada 2 tambalan jahitan diujungnya. Sekarang di kiri jalan, sawah
membentang sepanjang 4 kilometer hijaunya benar-benar menyegarkan mata ditengah
terik siang bolong. Di akhir pematang sawah, pemandangan berganti menjadi kawasan
tambak dan hutan mangrove. Jalanan ini lah yang menjadi saksi perjuangan kami
berdua.
Dahulu
di sekolah dasar, setidaknya ada enam orang setiap harinya melintasi jalan ini.
Tetapi, selepas lulus dari kelas 6, tinggal aku dan La-Tang yang melanjutkan
sekolah di tingkat pertama. Ini dikarenakan hampir seluruh keluarga di Pantai
Tambu terpatri turun-temurun akan budaya, “tidak perlu sekolah tinggi-tinggi
untuk mencari uang, cukup bisa berhitung dan membaca maka sekolah sudah tidak
ada lagi gunanya”. Alasan ini selalu menghantui pikiranku dan La-Tang.
“Apakah
setelah lulus sekarang, kami bisa melanjutkan sekolah ke SLTA yang posisi
terdekatnya ada di kecamatan, berjarak 30 km dari kampung kami” ah. Entah lah.
***************************************************************************
Hari
libur telah tiba, seperti biasa sebagai keluarga nelayan aku pun ikut melaut meskipun sebenarnya aku lebih nyaman untuk menghitung berapa
jumlah ikan hasil pukat sebelum dijual ke padola ikan. Setelah negosiasi harga antara ayah dan padola, aku
pun selalu membantu untuk menghitungkan total harga ikan tanpa kalkulator.
Perhitunganku selalu mendapat pujian dari kakek. Hal ini sangat berbeda dengan
ayahku, bagi beliau yang terpenting adalah uang hasil pukat. Cuma itu.
Matahari
baru naik sepenggalan. Posisinya tepat muncul dari kumpulan pohon kelapa di
pulau seberang. Itu artinya, kami harus segera memasang pukat. Menggunakan 2
perahu bertenaga mesin Yanmar, kakek bertindak sebagai penunjuk arah ke
laut. Ayah sendiri mengendalikan arah perahu, sesuai instruksi tangan dari
kakek. Tidak sampai 30 menit berlabuh, akhirnya diputuskan untuk menyebarkan
pukat disekitar pulau pilihan. Bagian ujung pukat dilemparkan mendekati pantai,
kemudian perahu akan bergerak menuju ke bagian laut dalam sambil tetap melemparkan
pukat hingga membentuk setengah lingkaran. Bagian ujung satunya pun akhirnya
juga mendekati pantai disisi lainnya. Biasanya butuh sekitar 1-2 jam waktu
pukat dilempar sebelum masing-masing ujung pukat ditarik ke daratan
pulau pilihan. Ujung satu ditarik oleh 5 orang begitupun ujung lainnya, juga 5
orang.
“Al
kamu tarik diurutan ketiga di belakang bapak mu” teriak kakek mengatur posisi
tarik pukat.
“Satu….dua…tiga….satu….dua…tiga….satu…dua..tiga”
dengan irama tersebut, proses penarikan pukat mulai berlangsung. Hingga semua
ujung tali bertemu ditengah-tengah dan pukat berhasil menangkap ikan.
“Aduh..!!!”
teriakku penuh kesakitan, kaki kanan terasa tertusuk benda tajam dan rasa
sakitnya cepat menyebar hingga ke lutut.
“Astaga…itu
bulu babi nak” segera ayah menggendong ke pantai dan menyiram bagian duri
yang kelihatan menempel diujung ibu jari kaki menggunakan spritus dari lampu
petromaks.
Aku
melihat kakek pun tidak kalah khawatirnya, diambilnya kain dan diikatkan
dengan kencang dibagian telapak kaki. Untung durinya bisa dikeluarkan dan
sakitnya sudah mulai berkurang. Sejak kejadian ini, kakek melarang untuk
ikut melaut.
***************************************************************************
Hari
istimewa pun tiba. seperti biasa, selepas subuh, aku berjalan menuju Tajene
sebagai lokasi sumur air payau terdekat untuk mandi. Hari ini adalah hari
pengumuman kelulusan dan ayah sengaja tidak melaut. Semua orang tua diundang
untuk menyaksikan pengumuman kelulusan anaknya. Beliau memenuhi undangan
sekolah. Ini adalah kali kedua, Ayah ke sekolah, sebelumnya ketika hari
pertama masuk sekolah lanjutan tingkat pertama ini.
Di aula sekolah, rangkaian demi rangkaian acara kelulusan dimulai, para orang tua duduk
di sisi kiri aula sedangkan murid dengan wajah cemas disisi kanan aula. Satu
per satu nama kami dipanggil, tidak banyak, hanya 20 siswa. Semua maju
kedepan berdasarkan urutan dan menerima amplop dari kepala sekolah. Nasib kami
ditentukan dengan tulisan dalam amplop. Hampir serempak kami membukanya. Di
dalam amplop tertulis, nomor induk siswa dan namaku serta terpampang dengan jelas
tulisan “Lulus”. Aku bersyukur sambil menoleh kearah ayah seraya memperlihatkan
kertas tersebut. Tanpa dikomando, ayah mengangkat kedua tangan ke langit
sebelum akhirnya mengusapkannya ke wajah beliau. Di baris belakang, La-Tang
pun menunjukkan tulisan lulus. Alhamdulillah, ternyata kami semua lulus 100 %.
Acara
terakhir adalah pidato dari Kepala Desa Sausu Piore yang begitu mengejutkan.
Dalam isi pidatonya, beliau menggambarkan kehidupan salah satu orang tua siswa. Kesehariannya hidup di pesisir sebagai nelayan dan menyekolahkan anaknya di sekolah terpencil ini. Berjuang di laut dengan ombak tinggi dan angin begitu dahsyat tetapi akhirnya berbuah manis. Anak beliau berhasil menjadi pemegang nilai peringkat 3 tertinggi untuk mata pelajaran IPA se-kabupaten Donggala, sebuah prestasi membanggakan dari sekolah yang baru meluluskan dua angkatan ini.
Pidato
pun masih berlanjut, dengan suara lantang kepala desa mengucapkan “Anak itu
adalah Altaf, dari Kampung Nelayan, Pantai Tambu”.
Kali
ini, tepuk tangan penuh haru mengisi aula sekolah, saat namaku disebutkan.
Teman-teman mulai memeluk, kami semua bangga atas pencapaian ini. Pencapaian
presetasi di sekolah terpencil yang baru meluluskan dua angkatan dan dari sudut
kiri aula, ayah pun terlihat bangga.
***************************************************************************
Dua
minggu sejak pengumuman, dikala semua keluarga lagi berada di ruang tengah
rumah panggung. Ayah dan kakek lagi mengecek kondisi pukat, memastikan
bagian putus bisa segera disambung kembali menggunakan nilon dan alat jahit
pukat. Sedangkan ibu dan nenek lagi mempersiapkan makan siang di lantai
berpapan. Aku memberanikan diri membuka percakapan.
“Ayah,
boleh kah saya lanjut sekolah di provinsi?” mencoba memulai percakapan.
Dari
sudut rumah, ayah melepaskan pukat dan tali nilon. Begitupun juga kakek. Sepuluh
detik berlalu, tidak ada jawaban dari mulut ayah. Ruang tengah
tiba-tiba menjadi hening. Dua puluh detik berlalu, ruangan pun masih tetap
hening.
“Tidak perlu sekolah lagi, Altaf sudah bisa membaca dengan baik, menghitungnya pun jago. Dengan kemampuan itu, Altaf sudah bisa jadi nelayan hebat dan menghasilkan uang. Jadi apalagi yang dicari untuk lanjut sekolah? Di provinsi lagi” jawaban ayah sekaligus langsung menghempaskan semua mimpiku untuk bisa lanjut sekolah.
Aku tidak mungkin menangis mendengar jawaban ini dari ayah,
karena aku adalah lelaki pesisir. Pantang bagi kami untuk menangis. Jawaban ini
pun sama seperti yang dialami La-Tang 3 hari lalu.
“Eh…Nuddin…”
teriak kakek memanggil ayah.
“Apa
kamu tidak berpikir lagi, apa yang kamu harapkan hanya dari nelayan seperti
kita?”
“Anak
mu itu berbakat Nuddin. Lihat saja tangannya, pandai menulis hasil ikan
tangkapan kita “badampar”, belum lagi kalau dia menghitung jumlah uang hasil
penjualan ikan. Di keluarga kita dari Selatan sampai Poso, belum ada karakter
seperti Altaf”
“Dan
kamu ingin seperti keluarga lain, tetap menjadi nelayan…hah.? Altaf itu rejeki sangat
istimewa” nada tinggi kakek membuat bungkam seisi rumah.
“Bagaimana
bisa Altaf lanjut sekolah? di provinsi lagi. Tidak ada kenalan disana apalagi
uang untuk membiayai sekolahnya” ucap ayah dengan nada rendah agar tidak
menyinggung ucapan kakek.
“Jual
saja tanahku yang 10 Aro, untuk biaya sekolah dan tempat tinggal Altaf di
provinsi jika itu masalahnya” masih dengan nada tinggi, kakek menyampaikan
solusinya.
Akhirnya,
ayah mengangguk, sekaligus membuka lebar mimpi untuk tetap sekolah ke
tingkat lebih tinggi.
***************************************************************************
Tujuh
tahun kemudian setelah percakapan sengit di ruang tengah, akhirnya aku berhasil
lulus sarjana dan bersaing dengan para mahasiswa negara lain di negeri jiran. Hasil
riset selama studi juga mengantarkanku menjadi peneliti muda tingkat dunia
dalam bidang kimia. Hal ini pula menjadi perhatian penting di universitas
hingga rela mengirimkan surat khusus dengan perantara professor yang menjadi penanggung
jawabku selama studi.
“Begini Altaf, pihak universitas ingin mengangkat Altaf sebagai tenaga peneliti dengan gaji tetap dan tunjangan tempat tinggal. Hal ini karena prestasi Altaf yang sangat luar biasa dan bisa memajukan universitas ini kedepan. Bagaimana Altaf, apakah Altaf bersedia?” Ujar professor Agam dengan intonasi dan suara santunnya.
Senyuman pun mulai merekah, aku sudah sangat paham dengan arah pembicaraan ini. Bagi
setiap lulusan terbaik, menjadi tenaga pengajar adalah impian semua orang.
“Terima
kasih yang luar biasa aku haturkan kepada professor dan pihak universitas
karena bersedia memberikan penawaran luar biasa ini”.
“Tetapi
dengan sangat menyesal dan mohon maaf sebelumnya, tawaran ini tidak bisa Altaf ambil”.
“Aku ingin kembali ke Indonesia, menerapkan segala ilmu terutama untuk kampung halamanku. Disana, aku ingin membangun pengetahuan agar setiap warga pesisir memiliki peluang sama untuk meraih pendidikan. Disana pula, aku ingin membangun sistem pengolahan air bersih, agar masyarakat pantai Tambu, tanah kelahiran bisa memanfaatkannya dengan baik” jawabku penuh semangat kepada professor.
Untungnya
sebagai peneliti dan warga negara Malaysia yang baik, professor memahami
penolakanku, dan aku pun bisa kembali lagi ke pantai Tambu, tanah kelahiranku.
***************************************************************************
Diatas
pusara kakek, aku berdiri bersama ayah memanjatkan doa seraya mengucapkan
terima kasih mendalam atas perjuangan dan dorongan kuatnya. Jika bukan
karena beliau dan jika bukan karena hasrat beliau waktu itu, mungkin mimpiku
akan terkurbur selamanya disini. Dan sekarang, aku siap menerapkan apa yang
selama ini aku terima di luar sana. Pendidikannya, karakternya dan ilmu
pengetahuan yang luar biasa tak terhingga agar bisa bermanfaat untuk masyarakat
pantai Tambu.
“Mohon
restu dan doanya Kek, karena setelah ini, cucu mu akan menyebarkan
semangat merajut pendidikan, agar tidak ada lagi anak-anak pesisir pantai Tambu
berhenti sekolah di tingkat lanjutan pertama” ungkapku dalam hati sebelum akhirnya meninggalkan pusara
dan bekerja untuk segera membangun mimpi-mimpi anak pesisir pantai Tambu
lainnya.
Duh..berat juga ya perjuangan bersekolah di daerah terpencil, tapi salut dengan prestasi yang dicapai.
ReplyDeleteDitulisan ini diceritakan tentang bulu babi terus terang, saya sering membaca tentang bulu babi dan racunnya. Saya penasaran ingin lihat wujud aslinya.
Sebenarnya kisah seperti ini banyak dialami oleh para anak-anak di pedalaman, maka beruntunglah buat mereka terlahir di kota besar.
DeleteBulu babi bisa lihat di Youtube saja dulu kak, jika belum ketemu aslinya
wah keren sekali tulisannya sangat menginspirasi!tulisan mas talif bagus-bagus ya :)
ReplyDeleteTerima kasih kak Inez, sudah bersedia mampir
DeleteMimpi yang akhirnya tercapai. Mengharukan sekali ceritanya. Perjuangan yang membuahkan hasil manis asal terus berusaha. Semoga semua anak-anak Indonesia bisa menempuh pendidikan setinggi-tingginya.
ReplyDeleteAamiin. Semoga kedepan akses pendidikan semakin mudah
DeletePerjuangan yang nyata dan akhirnya terwujud, menginspirasi sekali mas
ReplyDeleteTerimakasih kak. Sampai ketemu dicerita inspirasi berikutnya
DeleteSekilas teringat cerita di Laskar Pelangi, ttg perjuangan bersekolah di pedalaman
ReplyDeleteIya kak. Kisah Pendidikan memang banyak versinya
DeleteSekarang anak Tambu sudah mengenyam pendidikan yang tinggi.
ReplyDeleteOh ya, passionnya memang jadi peneliti ya bang.
Semoga mendapat tempat yang tepat untuk bekerja sebagai peneliti.
Aamiin. Terima kasih kak Ris. Penelitian memang mengasyikkan, banyak ilmu dan pengetahuan baru
DeleteLuar biasa.. aku aha suka telat berangkat sekolah.. kadang males2an.. sungguh tidak baik untuk ditiru
ReplyDeleteHahaha. Untung sudah sadar kak. Semangat menularkan energi positif
DeleteAwalnya saya menikmati tutur yang indahnya perjuangan di masa kecil. Selanjutnya saya terbawa alur cerita yang bukan sekedar mimpi si anak Pantai Tumbu. Determinan sang Kakek tentang masa depan sungguh membuat takjub... Terinspirasi kisah nyatakah kak?
ReplyDeleteTerimakasih sudah menikmati tulisannya. Alhamdulillah semua tulisan di blog saya adalah kisah nyata
DeleteAku kok jadi mewek bacanya ya..
ReplyDeleteSemoga akan banyak lagi Altaf-Altaf lainnya di negeri ini yang bisa meraih mimpi dan membaantu sesamanya merengkuh mimpinya juga.
Keren ceritanya. Sangat!
Terimakasih kak. Semoga bisa diambil hikmahnya.
DeleteSeperti sedang baca kisahnya ikal dkk. Inspiratif banget bang. Dan tulisannya memang selalu menginspirasi.
ReplyDeleteTerimakasih kak sudah mampir. Semoga pesan inspiratifnya tersampaikan
DeleteHaru, sedih, inspiratif banget mas, pengalaman hidupnya, bisa bikin bangga orang tua, dan bisa bermanfaat buat orang banyak.....
ReplyDeleteAamiin. Terimakasih sudah mampir.
DeleteInspiratif mas. Dibikin novel bisa lebih seru nih
ReplyDeleteSiap. Insha Allah
DeleteSaya pikir ini cerpen. Ternyata oh ternyata bukan. Tulisannya bagus. Inspiratif banget. Semoga semakin banyak ya yang seperti altaf.
ReplyDeleteAamiin
DeleteBaca paragraf pertama dan kedua, aku langsung membatin “Tulisannya bagus nih, rapi lagi”
ReplyDeleteBaca paragraf berikutnya jadi melow.
Terima kasih cerita tentang mimpinya. Mari kita terus bermimpi, memeluk mimpi” itu dan mewujudkannya 😊
Terimakasih mba sudah mampir. Ayo kita wujud semua mimpi anak Indonesia untuk tetap sekolah tinggi
DeleteCerita ini sangat menyentuh sekali, semangat yang lar biasa
ReplyDeleteTerimakasih kak
DeleteWah... ceritanya mengingatkan aku waktu volunteer mengajar anak-anak di Desa Tanusan, Papua Barat. Memang ya kak, kalau daerah yang cukup jauuuhh dari perkotaan butuh diberi semangat lebih untuk mereka berjuang meraih cita-cita di masa depan.
ReplyDeleteWuih keren kak, bisa jadi volunteer di papua. Terimakasih sudah mampir
DeleteCeritanya bagus banget mas, karena hidup memang butuh perjuangan. Agar membuahkan hasil yang manis
ReplyDeleteTerimakasih sekali cerita inspiratif nya
Sama2 kak. Terimakasih sudah mampir
DeleteCeritanya ngalir dan menginspirasi, semoga dunia pendidikan akan terus semakin baik dan bisa dirasakan seluruh masyarakat Indonesia.
ReplyDeleteAamiin
DeleteSalah satu impian aku yang belum kesampaian nih :') Pengen banget jadi volunteer ke pelosok gitu haha
ReplyDeleteWah, sekarang sudah banyak kok kak lembaga yang urus volunteer ke pedalaman
DeletePingin punya pengalaman volunteer bisa merasa berguna hidup di dunia ini :)
ReplyDeleteAamiin. Dicoba saja kak
DeleteSuka sedih lihat perjuangan anak pedalaman dalam mencari ilmu jadi jengkel melihat anak-anak perkotaan yg segalanya mudah tapi di sia-siakan malah pada berantem.
ReplyDeleteIya kak. Ibarat bumi dan langit. Perbedaannya benar2 jauh jaraknya
DeleteMasyaAllah.. inspiring banget ini kisah mimpi anak pantai Tambu. Keren, Mas.. Jadi ingat laskar pelangi sih, mirip ya perjuangannya.
ReplyDeleteAlhamdulillah. Semoga semangatnya bisa diambil
DeleteCerita-cerita seperti ini yang mengingatkan betapa beruntungnya kita dan harus banyak-banyak bersyukur. Semoga makin banyak mimpi anak tambu yang menjadu nyata
ReplyDeleteAamiin. Terimakasih sudah mampir
DeleteSedih, haru, dan inspiratif kak bacanya. Usaha tak pernah menghianati hasil ya, malu jadinya sama diri sendiri yang udah dikasih serba mudah tapi masih suka ngeluh huhu
ReplyDeleteYuk. Kita tularkan semangat kebaikan buat lainnya
DeleteWah, cerita yg sangat menginspirasi. Perjuangan seorang anak dr desa terpencil. Hingga menyelesaikan studi di negeri tetangga, namun karena ingin membangun kampung ia dengan tegas menolak. Mimpi yg luar biasa. Semoga bisa menularkan semangat buat anak anak kampung lainnya
ReplyDeleteAamiin. Terimakasih sudah mampir
DeleteNeng Rin terharu atuh sama perjuangannya Altaf. Terharu dan inspiratif banget. Itu yang bikin semangat buat ngelanjutin pendidikan. Orang pesisir yang jauh dari sekolah aja semangat juangnya tinggi, kenapa kita yang sekolahnya deket nggak?
ReplyDeleteIyes. Kita yang lebih dimudahkan harus bisa lebih semangat
DeleteCeritanya begitu inspiratif dan bikin terharu, membuka mata lebar untuk anak2 yang berada di kota besar supaya tidak kalah semangatnya dengan yang tinggal di pesisiran seperti kisahnya si altaf.
ReplyDeleteIya. Ayo tetap semangat
DeleteAh menyentuh sekali bang ini tulisannya.. makasih kakek sudah mendukung ayah untuk menyekolahkan altaf lebih tinggi. Dan syukur sekali altaf selalu ingat kota kelahiran. Keren..
ReplyDelete